Senin, 04 April 2016

Minggu Ke III HUKUM TRANSPORTASI Tanggung Jawab Pengangkut

Pengertian
Dalam Black Law Dictionary ditemukan ada 2 (dua) istilah tanggung jawab yaitu responsibilty dan liability. Responsibility diartikan sebagai tanggung jawab untuk melakukan sesuatu karena ia memiliki posisi tertentu
Liability adalah tanggung jawab untuk menanggung segala sesuatu sebagai akibat karena melakukan sesuatu.
          Dalam hukum transportasi istilah tanggung jawab diambil dari kata liability.
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
          Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari pertaturan yang telah ada.
          Purbacaraka berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yangn dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.
Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana
Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
2. Macam Macam Tanggung Jawab Hukum
: 1. Tanggung jawab berdasarkan atas unsur kesalahan (liability based on  fault principle),
 2.  Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability principle),
          3 Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption ofnonliability principle),
           4 Tanggung jawab mutlak (strict liability principle), dan
          5 Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability principle).
Pertama, Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based onfault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata Pasal 1365, 1366, 1367.
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 KUHPerdata, yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :
          adanya perbuatan;
          adanya unsur kesalahan;
          adanya kerugian yang diderita;
          adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Kedua, Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liabilityprinciple), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah.  Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.  Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengadopsi prinsip beban pembuktian terbalik ini yang ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23.
Dasar pemikiran dari teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum pidana. Namun, jika diterapkan dalam kasus perlindungan konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan.
Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.
Ketiga, Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (presumption ofnonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common  sense (perasaan yang dirasakan oleh masyarakat umum) dapat dibenarkan.
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.
Keempat, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability principle). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability principle adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya  keadaan memaksa ( force majeure).
Sebaliknya, absolute liability principle adalah prinsip    tanggung jawab   tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada strict liability principle, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability principle , hubungan itu tidak selalu ada.
Maksudnya, pada absolute  liability principle, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban  itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).
          Menurut R.C. Hoeber et al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan   karena
          (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks,
           (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya,
(3) asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability (tanggung jawab produk).
          Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
Kelima, Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liabilityprinciple), sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi (pasal pengecualian) dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan, bila film yang ingin  dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi  ganti  kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan  konsumen bila  ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar